Aceh Review- Sebutan kafir bukan sesuatu yang asing lagi di
telinga umat Islam. Bahkan, baik sadar maupun tidak, hampir setiap hari kaum
Muslimin pernah melafalkan kata-kata tersebut ketika membaca Al-Qur’an.
Pasalnya, istilah kafir sendiri oleh Allah Ta’ala disebut berulang
kali di dalam Al-Qur’an. Semua itu untuk menunjukkan orang-orang yang tidak mau
menerima Islam atau mereka yang bukan dari golongan Muslim.
Namun, belakangan ini sebutan kafir oleh sebagian
orang dianggap mengandung konotasi negatif, karena sebutan tersebut terdengar
merendahkan atau menyinggung perasaan golongan lain di luar agama Islam. Bahkan
dalam acara-acara tertentu, tidak jarang penyebutan kafir terhadap golongan
selain Islam sering mendapat kritikan langsung dari pihak-pihak tertentu. Bagi
mereka, istilah tersebut lebih baik diganti dengan kata-kata non-Muslim.
Lalu, apakah demikian seharusnya umat Islam menyebut
orang-orang di luar agama Islam? Apakah sebutan kafir itu memang untuk
merendahkan golongan lain? Berikut Dr Zakir Naik menjelaskan mengapa istilah
tersebut dipakai di dalam Islam.
Menurut beliau untuk menjawab pertanyaan di atas
kita harus menelusuri terlebih dahulu definisi kafir itu sendiri. “Secara
bahasa kata kafir berarti orang yang ingkar. Kafir berasal dari kata kufr, yang
berarti menyembunyikan atau ingkar. Dalam terminologi Islam, kafir berarti orang
yang menyembunyikan atau mengingkari kebenaran Islam dan orang yang menolak
Islam. Dalam bahasa Inggris, mereka disebut non-muslim,” jelas Dr Zakir
Naik
Bagi beliau, seseorang yang merasa terhina dengan
sebutan tersebut berarti tidak memahami kafir menurut terminologi Islam. Karena
kalau dia memahami istilah tersebut, hal itu justru menjadikan dia merasa tidak
sama sekali dihinakan.
“Jika seorang non-Muslim merasa terhina bila disebut
kafir, itu karena ia belum paham dengan Islam. Dia harus mencari sumber yang
tepat untuk memahami Islam dan terminologi Islam. Dengan memahaminya, ia bukan
saja tidak akan merasa terhina, tetapi justru menghargai Islam dalam perspektif
yang lebih tepat,”terang Dr Zakir Abdul Karim Naik lebih lanjut.
Jadi, istilah kafir bukanlah sebutan untuk
menghinakan golongan yang menganut agama lain. Karena dalam perspektif Islam,
kata-kata kafir memang digunakan bagi mereka yang tidak mau menerima ajaran
Islam. Karena makna di balik istilah itu sendiri adalah menyembunyikan atau ingkar
terhadap dakwah Islam. Wallahu a’lam bis shawab!
Quran Surat Al Kafiruun (hidayatullah)
SALAH satu yang menolak kehadiran Ustad Abdul Somad adalah
Pariyadi alias Gusyadi, pemimpin Pondok Pesantren Soko Tunggal Abdurrahman
Wahid 3 Bali.
Menurutnya, UAS ditolak masuk Bali karena penceramah asal
Riau itu selalu menyebut kafir kepada yang tidak seiman.
Kata Kafir bukan kata asing bagi umat Islam. Kita sudah
sangat akrab dengan kata yang satu ini. Hampir setiap membaca Al-Quran kata ini
terucap, sebab memang tercantum di dalamnya.
Kafir dalam bahasa Arab: ﻛﺎﻓﺮ
kafir adalah bentuk Jamak ﻛﻔﺎﺭ
/ kuffar, yang berasal dari kata kufur (inkar, menolak, menutup dan
menyembunyikan sesuatu)., atau menyembunyikan kebaikan yang telah diterima atau
mengingkari kebenaran
Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah dalam Zâd al-Ma’âd (3/145)
membagi orang kafir terbagi menjadi tiga golongan: Kafir Harbi(yang boleh
diperangi, terutama yang memusuhi dan menyerang kaum Muslim), Ahlu al-‘ahd
(Kafir yang memiliki perjanjian dengan kaum Muslim), dan Ahlu adz–Dzimmah
(Kafir Dzimmi atau yang tidak memusuhi Muslim)
Kafir Harbi menurut Al-Quran adalah orang kafir yang
memerangi Allah danRasulullah dengan berbuat makar di atas muka bumi. (QS.
Muhammad: 4). Mereka adalah kaum kafir yang boleh diperangi karena menampakkan
permusuhan terhadap kaum Muslim.
Sementara orang yang tidak memiliki kekuatan untuk
menghalangi atau berperang, seperti wanita, anak-anak, rahib-rahib, orang tua
renta, buta dan lumpuh serta sejenisnya, mereka ini tidak boleh dibunuh menurut
jumhur ulama, kecuali jika mereka ikut andil dalam peperangan.
Kafir Harbi masih dibagi menjadi dua yaitu yang minta suaka
atau perlindungan keamanan (al-musta`min) dan yang memiliki perjanjian damai
yang disepakati (al-mu’âhad).
Kafir Mu‘ahad adalah orang kafir yang tinggal di negeri
kafir, tapi memiliki pernjajian damai dengan Negara Islam. Mereka berhak
mendapatkan pelaksanaan perjanjian dari kita dalam waktu yang sudah disepakati,
selama mereka tetap berpegang pada janji mereka tanpa menyalahinya sedikitpun,
tidak membantu musuh yang menyerang kita serta tidak mencela agama kita
Golongan Ahlus adz Dzimmah paling banyak memiliki hak atas
kaum Muslimin dibandingkan dengan golongan sebelumnya. Karena mereka hidup di
negara Islam dan di bawah perlindungan dan penjagaan kaum Muslimin dengan sebab
jizyah yang mereka bayarkan.
Al-Quran menyebut kata kafir dalam berbagai derivasinya dan
disebut sebanyak 525 kali. Lagi pula, istilah kafir, adalah istilah hanya umat
Islam saja. Seperti halnya umat lain yang punya istilah sama. Orang Kristen
juga berkeyakinan, selain memeluk agamanya, dianggap ‘domba sesat’. Sementara
orang Yahudi menganggap pemeluk agama lain yang tak menghimani Yahudi disebut
‘goyim’. Orang Hindu menyebut orang yang mengimani selain Hindu, disebut
maitrah. Jadi apa masalahnya kok sekarang yang dipermasalahkan urusan keimanan
orang Muslim?
Oleh sebab itu, tugas dan kewajiban umat Islam untuk
meyakini kitab sucinya. Sikap demikian juga dijamin dalam konstitusi di
Indonesia, untuk menjalankan agama sesuai keyakinannya.
Secara bahasa, kafir artinya orang yang mengingkari sesuatu,
atau orang yang menolak sesuatu. Kata ini bisa digunakan sebagai ungkapan orang
yang melupakan nikmat Allah ta’ala, menjadi lawan kata Asy-Syaakir (orang yang
bersyukur).
Dari sudut pandang Syariat Islam, kafir adalah sebuah
istilah untuk menunjukkan sikap penentangan terhadap ajaran tauhid, kenabian,
dan hal-hal yang terkait dengan Hari Akhir.
Jika seseorang, apapun agama dan keyakinaannya, bertentangan
dengan seruan tauhid (mengesakan Allah ta’ala), mengingkari risalah Nabi
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dalam hal sekecil apapun itu, atau tidak
percaya dengan Hari Akhir, maka ia termasuk Kafir.
Dari sini, kata kafir mencakup beberapa kelompok dalam tubuh
umat manusia:
1. Mulhid. Yakni seseorang yang tidak mengakui adanya Tuhan
(Atheis)
2. Musyrik. Yakni seseorang yang menyekutukan Allah ta’ala
dalam ibadah yang dikerjakannya. Ia mengakui adanya Allah ta’ala namun ia
menduakanNya.
3. Watsaniy. Istilah ini diambil dari kata watsan (berhala).
Watsani artinya penyembah berhala.
Maksudnya adalah seseorang yang menyembah
kepada selain Allah ta’ala.
Seseorang yang mengingkari kenabian atau risalah Nabi
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam.
Seseorang yang tidak mengakui kewajiban salah satu syariat
Islam seperti salat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya.
Dari sini kita bisa sedikit mengambil kesimpulan, ketika
seorang ulama menyatakan bahwa di luar Islam adalah kafir, ia tidak sedang
menghina pribadinya, tapi perbuatannya yang memyembah bukan kepada Allah
ta’ala.
Kata kafir yang dilontarkan bukan untuk memecah belah
persatuan bangsa dan NKRI, tapi sebagai bentuk tanggung jawab moral untuk
menjelaskan kepada umat tentang bagaimana Allah ta’ala memberikan “stigma”
terhadap mereka yang berada di luar Islam, sebagaimana mereka pun memiliki
istilah untuk golongan di luar agama mereka.
Oleh sebab itu, tidak yang salah dengan apa yang disampaikan
oleh UAS, yang dijadikan bahan penolakan oleh Gusyadi terhadap kedatangannya.
Justru Gusyadi perlu membuka kembali Al-Quran agar ia tahu siapa yang
dimaksudkan oleh Allah ta’ala sebagai orang kafir itu. Wallaahu a’lam bis
showaab.*
*Penulis adalah pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Malang.
Pengasuh Grup Qolbun Salim.
Negara ini aneh emang
ReplyDeleteWelcome Di Indonesia jadi Malu Di datangi sama Suhu
Delete